AGAMA DAN POLITIK GLOBAL KAJIAN TEORI SOSIAL POSTMODERN DALAM PERSPEKTIF HINDU

Oleh: I. W. Asta

  1. 1.      Pendahuluan

Akhir-akhir ini perubahan terjadi begitu cepat dalam berbagai aspek kehiupan social masyarakat, termasuk juga didalamnya perubahan dalam cara budaya berpolitik yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan. Perhatian terhadap agama sebagai kekuatan penting dalam politik global akhir-akhir ini semakin meningkat. Masalahnya, perhatian tersebut seringkali dikacaukan dengan ketakutan terhadap terorisme dan ekstrimisme. Namun kenyataan ini tidak dapat dipungkiri sebagai bentuk dari potret realitas domokrasi yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan tegnologi. Perubahan seperti ini tentu mengarah pada era baru yaitu era globalisasi.

Dalam era globalisasi batas-batas wilayah terlihat begitu sempit dengan adanya tegnologi imformasi dan komunikasi. Globalisasi telah merambah keseluruh sendi-sendi budaya diberbagai belahan dunia. Implikasi dari perubahan yang terjadi dalam era global ini sangat nampak dalam perubahan-perubahan yang terjadi pada setiap budaya bangsa yang terdapat di banyak sudut dunia. Adalah kenyataan bahwa di sisi itu pula budaya hidup berpoltik merambak luas kesetiap lapisan kehidupan social masyarakat.

Era kehidupan dewasi ini, juga dikenal sebagai “era serbaketergantungan”. Kondisi hidup yang demikian ini menggambarkan bahwasannya suatu Negara/Bangsa tidak akan mungkin menghindari hubungan dengan Negara-Negara atau Bangsa-Bangsa lain demi mempertahankan eksistensinya. Akibat ketergantungan tersebut lahirlah ketegangan  baik antar Negara maupun antar Bangsa. Terutama jikalau dikaitkan dengan kondisi dan kepentingan elit politik internal partai, dengan alasan membangun dan mempertahankan kemandirian, dalam menegakkan kedaulatan penuh, apalagi demi identitas agama diantara Negara-Negara atau bangsa-bangsa lain.  Kendatipun demikian derasnya arus globalisasi yang tampa mengenal batas, namun jangan sampai kita menjadi terlena akan kemudahan-kemudahan yang diberikan globalisasi.

Artinya semua kini sudah masuk dalam tataran era global, tataran persaingan bebas yang tentunya ada efek positive dan negativnya. Kalau sudah demikian ini berarti sudah berada dalam tataran politik global. Itu artinya kegiatan dan interaksi manusia yang berkenaan dengan proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat untuk kehidupan social masyarakat umum (keputusan politik), pada dasarnya merupakan distribusi dan alokasi kemanfaatan beban. Dimana factor utama yang mempengaruhi distribusi dan alokasi tersebut adalah kekuasaan oligarki. Siapa kekuasaan politik itu ? disini jelas Negara/Bangsa/orang-orang yang mempunyai kemampuan menggunakan sumber-sumber pengaruh untuk mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik sehingga menguntungkan atau paling tidak tak merugikan pihak yang mempengaruhi tersebut.

Keadaan demikian merupakan wujud dari politik global, dimana dunia menjadi tempat pertarung penguasaan sumber daya alam, dimana alam di eksploritasi habis-habisan secara terus menerus tampa memikirkan dampak lingkungan terhadap masyarakat local; munculnya pasar bebas sebagai bentuk penguasaan di bidang ekonomi perdagangan yang menumbuhkan gaya hidup masyarakat konsumtiv; penguasaan dibidang seni dan budaya; IPTEK; akibatnya tuntutan kebutuhan hidup dirasakan menjadi lebih tinggi; perebutan tapal batas wilayah; terjadinya arus urbanisasi yang begitu besar. Dampak seperti itu dirasakan sekali oleh masyarakat kecil. Sehingga munculah kesenjangan-kesenjangan dan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan social kultural masyarakat diperkotaan sampai kepelosok desa.

Dengan keaadaan politik global seperti itu, bagi masyarakat kecil yang tidak siap akan menjadi beban hidup yang sangat mengerikan, merasa termijinalkan ditambah lagi dengan dotrin-doktri dalam ajaran agama yang semakin memperuncing masalah dalam kehidupan social kultural pada masyarakat, maka akan dapat berakibat pada tumbuhnya klomflik-konflik yang bersifat laten.

Kalau demikian keadaannya maka ini akan menjadi ancaman besar bagi kerusakan pada tatanan social relegius keagamaan kehidupan masyarakat sehingga dapat menghancurkan tatanan kehidupan sosial religious berbangsa dan bernegara. Agama hanya menjadi alat politik, (kuda tunggangan untuk mencapai tujuan politik), agama telah terbalik maknanya, maka saat itu agama telah menjadi musuh manusia dan menjadi petaka besar bagi sinarnya nilai-nilai kemanusiaan (humanisme), agama dapat “membutakan” menjadikan kesadaran palsu, menciptakan pendensi, melegitimasi tindakan ketidakadilan. Maka dengan demikian agama pun tidak luput dari tuduhan sebagai penghancur tatanan nilai kemanusiaan masyarakat.

Agama memberikan sumber motif perilaku berpolitik, yang disebut peristiwa social plitik yang bercorak keagamaan itu. Realitas perilaku keagamaan itu obyektif dan riil/nyata sebagai sesuatu aksi atau reaksi terhadap sesuatu yang ditampilkan dari luar. Agama mempunyai kemungkinan untuk memberikan arah pola perilaku berpolitik dan kecendrungan perkembangan masyarakat modern banyak mendorong kehidupan social kian tersegmentasi, kenyataannya semakin mencerai beraikan ikatan-ikatan social dan keagamaan yang sebelumnya tampak kukuh.

Terjadi dehumanisasi kehidupan social dalam banyak hal telah menyebabkan manusia kehilangan makna hidupnya. Sehingga dapat dimunculkan satu hipotesis bahwa tingkat modernisasi suatu masyarakat berkait erat dengan tingkat krisis kemaknaan hidup manusia. Artinya semakin modern kehidupan social masyarakat sebagai pengaruh politik global, akan semakin besar peluang kehilangan makna hidup itu sendiri. Arah kesadaran beragama hanya pada reorientasi keyakinan dan peribadatan ritualnya saja, bukan pada kesadaran beragama yang diarahkan pada upaya gerakan moral dan social yang bertujuan menegakan tatanan social. sikap primodialisme, inklusivisme, panatisme agama yang sempit. pemaksaan kehandak, kemerosotan moral, pengerusakan, yang berujung pada disintegrasi bangsa dan kehancuran. Data/fakta dilapangan adalah penghinaan/penodaan agama, konflik dan tindak kekerasan (perilaku menyimpang), yang berkedog/dilatarbelakangi agama. Berdasarkan uraian singkat pada latar belakang tersebut diatas, maka dalam tulisan ini akan mencoba mengkaji agama dan politik global kajian teori sosial Postmodern dalam perspektif Hindu.

 

2. LANDASAN TEORITIS

2.1 Operasionalisasi Konsep

Konsep merupakan suatu pengertian yang terlebih dahulu untuk dipahami di dalam suatu penulisan karya ilmiah. Karena konsep merupakan salah satu syarat yang penting, ini dikarenakan konsep mampu menggambarkan sejumlah variabel terhadap topik yang dibahas. Beberapa konsep operasioanlisasi yang akan dikaji dalam penulisan ini, adalah sebagai berikut:

 

2.1.1 Agama

Ada banyak pengertian agama, agama secara arti kata dapat diartikan sebagai sesuatu yang tidak pergi, diam ditempat, sehingga dapat bermakna teguh keyakinan, kuat iman tidak berpindah-pindah. Agama juga dapat diartikan sebagai sebuah keyakinan yang sifatnya sakral. Artinya semua bentuk system keyakinan apa yang dipandang sebagai berkaitan dengan yang suci, sistem ilahiah. Walaupun banyak pengertian dan penjelasan tentang agama, namun untuk menghindari terjadinya pelebaran dalam pengkajian maka dalam kajian karya ilmiah ini penulis membataskan diri lebih pada penekanan pengertian agama yang dimaksud adalah dari glock dan stark. Dimana glock dan stark menganalisis keberagamaan muncul dalam 5 demensi yaitu; idiologi. Intelektual, eksperimensial, ritualistic dan konsekuensial. Idiologi dan intelektual adalah aspek kognitif dari keberagamaan; eksperensial dan ritualistic adalah aspek behavioral dari keberagamaan; dan konsekuensial adalah aspek efektif dari keberagamaan.

   

2.1.2 Politik Global   

Banyak persepsi tentang pilitik dan global. Politik dapat diartikan sebagai alat atau jalan, tapi ada juga yang melihat bahwa politik adalah suatu seni untuk memimpin. Namun politik yang dimaksud dalam tulisan karya ilmiah ini adalah alat atau sarana dan jalan untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan global atau yang lebih dikenal dengan era globalisasi dapat dipahami sebagai era keterbukaan, bebas, dan luas tampa mengenal batas ruang dan waktu. Jika dikaitkan antara politk dan global, maka akan menjadi politik global yang dimana dapat dipahami sebagai kemampaun menggunakan sumber pengaruh dengan bebas untuk mempengaruhi proses kegiatan dan interaksi manusia termasuk dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan untuk kehidupan social masyarakat umum.

 

2.2 Teori

Untuk mendapatkan jawaban yang bersifat teoretis dan sistematis terhadap permasalahan yang dikaji, maka diperlukan landasan teori yang dapat dijadikan bahan pijakan dalam usaha mendapatkan jawaban yang diharapkan. Berangkat dari pemahaman sebuah teori sebagai pemahaman awal itulah nanti akan dilihat permasalahan yang akan dikaji dalam karya ilmiah ini. Sehingga apa yang diharapkan hasilnya nanti dapat diterima sebagai kebenaran ilmiah. Adapun teori yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :

 

 

2.2.1 Teori Catur Purusa Artha

            Asumsi dasar dari konsep catur purusa artha adalah bahwa manusia dilahirkan didunia memiliki tujuan yang jelas. Tujuan hidup dalam konsep catur purusa artha diatur sesuai dengan struktur dan fungsi serta makna yang jelas dengan tetap mempertimbangkan nilai kebenaran yang disebut dengan dharma sebagai landasan utma dalam pencapaiannya. Dikatakan bahwa setiap manusia sejak dilahirkan sudah memiliki nafsu keinginan untuk sebuah tujuan yang jelas bukan tampa tujuan. Dimana nafsu keinginan itu dalam teori catur purusa artha disebut dengan bagian kama. Bentuk dan wujud dari tujuan hidup atau dilahirkan kembali kedunia itu adalah sebuah kebahagiaan yang abadi/hakiki. Kebahagiaan yang abadi dan hakiki tersebut dalam bagian catur purusa artha disebut dengan moksa. Bagai mana moksa sebagai tujuan hidup dilahirkan didunia itu bisa dicapai bagi umat manusia yang mendambakannya. Dalam teori catur purusa artha untuk dapat mencapai tujuan yang dimaksud, juga dikatakan adalah dengan sarana. Sarana sebagaimana yang dimaksudkan dalam teori catur purusa artha adalah dalam bentuk materi yang berupa harta. Dimana harta yang nanti digunakan untuk mensejahterakan tubuh atau badan wadah terlebih dahulu, setelah kemudian baru dijadikan sarana atau alat untuk memenuhi keinginan yang tertinggi yaitu moksa. Teori catur purusa artha menjelaskan lebih rinci dan dengan tegas menyatakan bahwa untuk bisa mencapai semua tujuan sebagai pemenuhan dari sebuah keinginan yang disebut kama, yang terpusat pada kebahagiaan abadi/hakiki yaitu moksha, melalui sebuah sarana yaitu berupa harta dengan berlandaskan atau berdasarkan dharma. Tampa berlandasan dengan dharma maka semua itu tidak akan bisa terwujud. Maka dari  Dharma sebagai bentuk control utama dalam teori catur purusa artha memiliki makna kebenaran hakiki yang yuniversal bagi siapapun umat manusia yang mengaku ber-Tuhan.

            Berpijak dari asumsi teori catur purusa artha tersebut, maka dalam karya tulis ilmiah ini akan mencoba melihat bagai mana posisi agama dan politik global dalam menentukan sebuah arah tujuan hidup bagi umat manusia dengan susunan struktur yang teratur dalam sebuah system pada fungsi masing-masing untuk mencapai sebuah kabahagiaan hidup bagi diri sendiri dan masyarakat di dunia dan diakhirat. Karena dimana keduanya pasti memiliki tujuan yang sama sebagai sebuah perkembangan ilmu pengetahuan yaitu untuk mensejahterakan kehidupan umat manusia di muka bumi dan di alam setelah kematian.

   

2.2.2 Teori Sosial Postmodern

            Istilah postmodern adalah istilah paling ambigu dan kontroversial baik di dalam dunia akademik, istilah ini memiliki banyak arti. Banyak tokoh yang memberikan pengertian istilah ini dan keseluruhan pengertian itu sulit dicari titik temunya. Sehingga muncul perdebatan apakah postmodern sebuah teori, pendekatan, ataukah paradigm. Ada ahli berpendapat bahwa postmodern merupakan pemutusan secara total dari mata rantai modernism, ada pula mengatakan bahwa postmodern merupakan kelanjutan dari modernism. Selain itu ada pula sejumlah ahli menyatakan bahwa postmodern merupakan sisi radikal dari modern. Namun secara umum dapat dikatakan bahwa postmodernisme sebagai sebuah system pemikiran lahir sebagai reaksi terhadap kegagalan modernism dalam berbagai hal, terutama dalam mengangkat harkat dan martabat manusia (Haryanto, 2012 : 293).

            Ritzer (2009 : 36), pada 1870-an. Konsep ini muncul pertama kali pada 1926 dan dimunculkan kembali pada 1930-an dan 1940-an. Pada 1960-an, Susan Sontang menulis “Against Interpretation”, yang merupakan leteratur postmodern awal. Dalam karyanya ini, ia berpendapat bahwa memahami interpretasi merupakan tindakan yang melumpuhkan dan penindasan. Ia menekankan sensasi langsung, dan bukannya memahami “makna” dari interpretasi-interpretasi.

            Istilah postmodernisme kemudian bermigrasi dan mempengruhi pemikiran social Eropa melalui Prancis dan Frankfurt pada akhir decade 1970-an. Adalah bahwa kunci kunci pemikiran social postmodernisme lebih banyak berasal dari Prancis. Karya Foucault, Lyotard, Baudrillard, Bourdieu, dan Derrida merupakan buktinya. Sementara pemikiran postmoderisme dari jerman muncul melalui karya-karya Hebermas, Beck, dan Luhmann (Ritzer dan Smart, 2001 : 3). Dimana bahwa salah satu akar pemikiran teori postmodern sebenarnya berada diluar bidang seni tari, arsitektur, film, music dan sebagainya. Dalam perjalanan sejarah dari pemikiran postmodern itu juga menunjukan bahwa perbedaan budaya bukan merupakan penghalang bagi muncul dan berkembangnya perspektif pemikiran postmodernisme yang pada akhirnya mempengaruhi banyak kalangan, baik akademisi maupun non akademisi di seluruh dunia. Selain itu, kemunculan postmodernisme menstimulasi resistensi sejumlah pemikir terhadap leberalisme. Disini dapat juga dikatakan bahwa salah satu akar teori postmodern juga terdapat pada liberalism.

            Memang teori postmodern tidak dapat dilepaskan dari teori-teori yang berkembang pada era yang disebut “modern”. Apa lagi teori-teori yang berkembang pada era modern sangat kuat dipengaruhi oleh filsafat positivism. Jadi teori postmodern sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari akar pemikiran positivisme. Janji- janji positivism sebagaiman dilontarkan oleh Comte dan Spencer menimbulkan skeptisisme di kalangan postmodernis yang mengembangkan retorika anti sains. Seperti dinyatakan Turner (dalam Haryanto, 2012 : 297) positivism telah gagal sebagai epistimologi dan sebagai usaha telah salah arah dalam menghasilkan narasi besar. Positivisme dilihat tidak hanya tidak manusiawi (inhumane), tetapi juga merupakan instrumen dominasi yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk melegitimasi status quo dan system kekuasaan yang ada.

            Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa teori postmodern bukanlah teori tunggal. Hingga untuk melacak akar filsafat atau teori social yang mempengaruhinya bukanlah perkara mudah. Maka yang barangkali dapat mendekati hal tersebut adalah bagaimana melacak akar pemikiran masing-masing eksponen teori dengan berusaha memahami substansi teori postmodern yang ada kaitannya dengan analisis permasalahan dalam penulisan karya ilmiah ini. Maka atas dasar ide pemikiran tersebut maka dalam karya tulis ilmiah ini akan mencoba memposisikan pijakan analisis pada beberapa teori social postmodern dari Giddens, Beck, Hebermas, Bauman dan David Harvey. Tetang modernitas, modernitas dan resiko, modernitas sebagai proyek takterselesaikan, dari modern ke postmodern serta politik dan etika postmodern, termasuk marxisme.

             Beberapa teori social postmodern tersebut secara ringkas substansinya dimulai dari karya Anthony Giddens tetang lokomotif modernitas melihat manusia berada pada tahap akhir modernitas, yang perlu diperhatikan disini adalah bagaimanapun, pemikirannya mengenai modernitas sebagai sebuah lokomotif yang bergerak melalui waktu dan ruang, dan juga idenya mengenai tiga proses modern yang esensi – pemisahan, pembongkaran, dan refleksivitas. Meskipun ia melihat hal positif yang dihasilkan oleh lokomotif modernitas, Giddens juga sensitive terhadap risiko-risiko yang diasosiasikan dengan hal ini. Giddens tidak hanya berurusan dengan modernitas pada tingkat makro namun juga pada tingkat mikro berkenan dengan pengaruhnya pada identitas-diri dan hubungan-hubungan intim, pengawasan yang keras terhdap aktivitas-aktivitas populasi-populasi subjek dalam bidang politik ( Ritzer, 240-248).

Ulrich Beck dengan teorinya modernitas dan risiko, mengutip satu aspek dari kajian Giddens untuk menekankan tempat yang berisiko dalam dunia modern. Sesungguhnya, menurut Beck, kita telah berpindah dari modernitas klasik yang dicirikan dengan kesejahteraan dan bagaimana membagikannya dengan rata kedalam modernitas yang lebih maju dimana isu yang menentukan adalah risiko dan bagaimana menghindarkan diri atau menanggulanginya (Ritzer, 249-253).

Sementara Jurgen Hebermas, dengan teorinya modernitas sebagai proyek tak terselesaikan, melihat modernitas sebagai sebuah proyek yang belum selesai. Dia menolak posisi postmodern karena dia masih memiliki keyakinan dalam proyek modern. Ahli-ahli melompat ke beberapa alternative postmodern, Hebermas lebih memilih untuk memperbolehkan modernitas melengkapi proyeknya dengan cara menjadi lebih rasional baik pada dunia-kehidupan atau pun pada tingkatan-tingkatan system. Selain itu dapat juga dicermati beberapa kupasan spesifik Hebermas atas teori social postmodern (Ritzer, 246-258).

Zygmunt Bauman dengan teorinya dari modern ke postmodern, menawarkan pemisahan yang berguna antara intelaktual modern (para legislator) dan intelektual post modern (para interpreter). Di antara beberapa hal lainnya para legislator mampu menawarkan pernyataan-pernyatan kewenangan, sementara para interpreter secara umum dibatasi dengan penerjemahan ide dari satu komunitas pada yang lain. Para interpreter, dan secara lebih umum pikiran ataupun cara berpikir postmodern, berada pada kejayaan, sementara para legislator dan pemikiran modern berada pada kemonduran. Meskipun cara berpikir postmodern memiliki masalahnya sendiri, paling tidak ia tidak menggiring kita ke Auschitz dan patologi-patologi lain yang diasosiasikan dengan bentuk pemikiran modern. Bauman tidak berselera dengan postmodern karena hal ini akan menjadi nonrasional. Postmodernisme dipahami paling tidak sebagaian dengan penerimaannya terhadap ambivalensi. Bauman juga mencermati politik-politik dan moralitas yang diasosiasikan dengan postmodernitas. Secara politis, postmodernitas akan ditafsirkan dengan politik-politik local dari pada oleh nasional. Secara etis postmodernitas akan dipahami dengan moralitas individu dari pada system-sistem etika yang besar. Menurut Bauman moralitas postmodern pasti didominasi oleh sebuah kebutuhan dan tanggung jawab bagi yang lain (Ritzer, 260-281). David Harvey menawarkan sebuah pendekatan Marxis bagi dunia postmodern. Ketika dia menyadari perubahan-perubahan dramatis yang terjdi tahun-tahun belakangan ini, ia juga melihat keberlanjutan antara masyarakat modern dan postmodern dalam system kapitalis yang mendominasi keduanya. Harvey terkenal karena idenya tentang percepatan pemadatan waktu ruang dalam dunia postmodern. Dia juga melihat awal keretakan dalam postmodern yang memberikan kemungkinan pembaharuan bagi teori Marxis (Ritzer, 282-284).

 

3. PEMBAHASAN

3.1 Agama dan Politik Global (Tataran Emperistis)

Mengkaji masalah agama dan politik global tidak lepas dari kehidupan social. masyarakat. Disadari atau tidak siapapun dia tampa terkecuali, langsung ataupun tidak langsung ketika dia menjadi bagian anggota kelompok dalam kehidupan social masyarakat, itu artinya sudah terlibat dalam urusan agama dan politik. Cuma hanya bentuk dan porsinya saja yang berbeda. Dalam sejarah sosiologi masyarakat begitu manusia mengenal satu dengan yang lainnya, disana sudah barang tentu terjadi interaksi. Interaksi dapat terjadi karena ada renspon antara satu individu dengan individu yang lainnya. Salah satu dampak dari interaksi itulah yang memunculkan adanya politik.

Agama hadir sebagai sebuah bentuk ikatan keyakinan dari pemahaman yang sama dari kelompok masyarakat tentang sesuatu yang bersifat sacral, nilai/makna, norma, etika untuk menjelaskan Tuhan, alam dan isinya termasuk manuisa, dan hubungan diantara mereka dan menjadi satu kebenaran. Kemudian agama dalam hal ini menjadi ukuran atau patokan bagi penganutnya untuk berperilaku dan bertindak. Walupun demikian agama sampai saat ini masih tetap menjadi manifestasi fenomena dalam kehidupan  berpolitik masyarakat. Agama dipandang dapat memberikan tuntunan dan jalan hidup untuk mendapatkan kedamian, namun disisilain agama juga bisa sebagai penyebab kehancuran.     

Namum jika dikaitkan dengan dekadensi moral dalam hubungan dengan keberagamaan ini artinya seperti apa agama dipahami sebagai sebuah norma (aturan yang mengikat) bagi pemeluknya sebagai bentuk control dalam perilaku berpolitik masyarakat. Di sisi lain agama juga dapat dilihat dari dua hal yaitu dapat berupa ajaran dan keberagamaan. Dimana ajaran yang dimaksud berupa teks dan lisan atau tulisan yang sacral dan menjadi sumber rujukan bagi pemeluknya. Sedangkan keberagamaan yaitu berkaitan dengan perilaku yang bersumber langsung / tidak langsung kepada naskah.

Karena keberagamaan berkaitan erat dengan perilaku manusia, maka secara tidak langsung maupun langsung dalam budaya berpolitik masyarakatpun jelas sedikit banyak ada pengaruh agama dalam perilaku politik. Kendatipun agama memiliki andil dalam budaya berpolitik masyarakat, tapi kenyataannya agama hanya sebatas dijadikan alat atau kuda tunggangan untuk mendapatkan kekuasaan. Lebih-lebih lagi dalam era globalisasi, era serba keterbukaan, dimana manusia terasa jauh dan bahkan mungkin seperti sudah kehilangan makna kemanuisaan. Sehingga orang dalam mengaktualisasikan dirinya untuk menjadi lebih baik, tinggi berusaha menguasai orang lain melalui dunia politik. Politik menjadi mengglobal pada hampir setiap langkah kehidupan manusia dari kota sampai kepelosok desa sebagai wahana untuk mencapai eksistensi dirinya untuk menjadi yang lebih dari orang lain.

Dalam tataran itu, politik global seakan dapat memenuhi semua apa yang diinginkan umat manusia. Manusia seakan-akan dimanjakan, dininabobokan dengan hadirnya politik global ditengah-tengah mereka. Agama sebagai pembentukan sikap dan perilaku moral manusia, seakan kehilangan nilai makna yang sesunguhnya pada setiap individu. Sehinga agamapun masuk dalam kancah dunia politik global sebagai bagian dari pembentukan sikap dan perilaku dalam berpolitik. Bahkan yang paling menyedihkan agama terkadang dijadikan ligitimasi keputusan politik demi kepenting kalangan tertentu. Padahal seharusnya agama sebagai pengontrol dalam setiap perilaku berpolitik dalam mengambil keputusan demi kepentingan masyarakat umum yang lebih besar. Maka dari itu antara agama dan politik global kini masih menjadi fenomena social dalam kehidupan masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius dalam pemaknaannya.

3.2 Agama Dan Politik Global (Tataran Konstruktivistis)

Dalam kajian ini memandang bahwa periode Agama kontemporer dimulai abad ke-20, yaitu sejak berakhirnya Perang Dunia II sampai sekarang. Periode agama kontemporer ini ditandai oleh dua peristiwa utama. Seperti misalnya; Pertama, dekolonisasi negara-negara mayoritas Hindu dan islam dari cengkraman kolonialisme Eropa. Kedua, gelombang migrasi Hindu dan islam ke negara-negara Barat. Dua peristiwa itu telah mengubah lanskap geografi dunia Hindu. Apa yang disebut dunia Hindu tidak lagi identik dengan dunia India, tetapi meliputi berbagai negara nasional yang tersebar di hampir seluruh penjuru dunia, merentang dari mulai Afrika Utara hingga Asia Tenggara. Selain itu, sejak itu pula kaum Hindu telah menjadi bagian dari demografi negara-negara Barat.

Pada dekade awal pasca Perang Dunia II, Hindu belum menjadi subjek penting dalam politik global. Isu utama pada masa itu adalah Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat dengan jargon liberalismenya dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet dengan jargon komunismenya. Pertarungan ideologi antara kedua blok tersebut menjadi latar belakang hampir semua peristiwa politik ekonomi internasional. Dalam hal ini, posisi negara-negara Non-Blok, di mana Indonesia dan beberapa negara Hindu lain termasuk di dalamnya, cukup terjepit dan dalam kenyataannya hanya menjadi objek rebutan pengaruh negara-negara adidaya.

Dekolonisasi negara berpenduduk Hindu dari cengkraman kolonialisme Eropa telah menghadapkan Agama Hindu pada suatu realitas baru, yaitu negara-bangsa modern. Persis pada titik ini, klaim-klaim keagamaan yang universal mau tak mau harus bekerja pada ranah partikular. Negara-bangsa modern secara normatif selalu mengandaikan adanya ikatan kewarganegaraan yang terbatas. Hubungan antara warga negara atau individu dan negara diikat oleh suatu komitmen yang sampai tingkat tertentu bersifat sekuler. Negara-bangsa modern mentransendensikan warganya dari tempurung identitas-identitas etnik, agama, dan jenis-jenis komunalisme lainnya ke dalam wadah besar bernama bangsa. Proses transendensi tersebut tidak pernah mudah, bahkan di banyak tempat terjadi kekerasan yang berdarah. Salah satu penyebabnya adalah watak dari negara-bangsa modern itu sendiri yang dalam perspektif Weber diberi legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi keutuhan teritorialnya.

Dalam konteks negara-bangsa modern, agama Hindu adalah satu dari sekian banyak ideologi politik yang bertarung memperebutkan tempat dan pengaruh dalam formasi negara dan struktur pemerintahan. Dengan kata lain, tidak menutup kemungkinan Hindu dalam politik berubah dari identitas sakral menjadi identitas profan. Kepedulian utama dalam politik negara-bangsa modern adalah pengelolaan ruang publik yang sekuler, bukan kepasrahan terhadap Tuhan. Agama Hindu secara tidak langsung terlibat dalam berbagai partai politik dan gerakan sosial dengan ideologi beragam: liberal dan sosialis hingga kemalis.

Sementara sebagian Hindu bergiat dalam berbagai aktivitas di tanah airnya masing-masing, sebagian yang lain justru berimigrasi ke negara-negara Barat untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Latar belakangnya, baik apa yang disebut faktor pendorong maupun penarik dalam teori migrasi klasik, umumnya adalah ekonomi. Pada masa itu, negara-negara Eropa Barat seperti Jerman dan Belanda baru saja bangkit dari puing-puing kehancuran dalam Perang Dunia II. Namun dalam waktu singkat negara-negara tersebut bangkit kembali dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengagumkan. Untuk mengisi lowongan pekerjaan yang banyak membutuhkan tenaga, didatangkanlah ribuan kaum pekerja. Sebagian dari mereka berasal dari penduduk Hindu. Di Inggris dan Perancis, beberapa dari kaum migran juga berasal dari penduduk Hindu bekas koloni mereka; orang-orang India dan nepal misalnya. Dalam perkembangannya, para pekerja migran yang umumnya laki-laki tersebut membawa serta keluarga mereka. Populasi kaum Hindu di di negara-negara Barat tersebut meningkat jumlahnya hingga sekarang.

Selanjutnya, setelah Uni Soviet runtuh percaturan global mengalami perubahan sangat signifikan, termasuk dalam isu agama Hindu. Peristiwa Revolusi Hindu India membawa implikasi penting baik terhadap dunia Hindu secara internal maupun terhadap konsetelasi politik internasional. Pada saat yang sama, Amerika Serikat masuk ke dalam peta persaingan baru tersebut dengan membawa kepentingan ideologi dan politik ekonominya sendiri. Di tempat lain, yaitu di Afghanistan, berakhirnya Perang Dingin mengakibatkan apa yang oleh beberapa pengamat Barat disebut ‘globalisasi Jihad’. Para eksponen mujahidin yang sebelumnya bertempur melawan invasi Uni Soviet akhirnya membubarkan diri. Sebagian mereka berasal dari negara-negara Muslim di Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Malaysia. Setelah Perang selesai, mereka pulang kampung, tetapi dari sini lahirkan satu jaringan Islamisme berskala global. Keberadaan mereka tentu saja menambah kompleksitas.

Sejak peristiwa revolusi Hindu India, Hindu menjadi subjek penting dalam politik global. Sementara itu, di Negara Mayoritas Hindu, demokratisasi semakin menjadi kata kunci dalam politik. Pada akhir 1990-an, rezim Orde Baru di bawah pimpinan Jenderal Soeharto di Indonesia jatuh dari kekuasaanyan, mengantarkan Indonesia tampil sebagai negara demokratik terbesar di dunia. Tuntutan perubahan politik global menerjang hampir semua rezim pemerintahan di dunia. Bahkan, negara paling konservatif seperti Arab Saudi pun mencoba membuka diri terhadap tuntutan serupa. Singkatnya, dunia agama kontemporer adalah bagian dari dunia yang sedang berubah dengan sangat cepat, melibatkan tidak hanya aspek meterial tetapi juga ideologi.

3.3 Agama Dan Politik Global (Tataran Idealistis)

Agama bukan sebatas pada sebuah keyakinan yang dogmatis, tapi lebih dari itu agama didalamnya juga terdapat Pendidikan Sosioreligius  yang berguna dalam upaya pembentukan moralitas dan kerakter anak-anak bangsa dalam tantangan politik global. Melalui, pendidikan sosioriligius nilai-nilai agama dapat diterapkan dalam usaha untuk melindungi diri dari kehilangan makna nilai kemanusiaan dan warisan leluhur dari arus modernisasi sebagai akibat dari politik global. Maka dapatlah dikaji bahwa makna nilai Sosioreligius yang terkandung pada agama sebagai control perilaku dan moralitas dalam politk global adalah sebagai berikut.

1. Makna Nilai Sosioreligius Agama Dalam Politik Global

Koentjaraningrat menyatakan bahwa Sosioreligius adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional, atau segala system tingkah laku masyarakat untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri kepada kemauan dan kekuatan mahluk-mahluk halus seperti roh-roh, dewa-dewa yang menempati alam (1997:59-61). Artinya bahwa nilai religius dari agama dalam era politik global dapat ditinjau dari bangunan-bangunan tempat suci sebagai Stana dari dewa-dewa sebagai manifestasi dari Tuhan, yang diwujudkan didalam Pura misalnya, maka dapat di katakana agama dalam aktualisasinya sebagai bentuk pratek pada pura terkandung nilai religius yang selalu diyakini oleh masyarakat Hindu, seperti sebagai tempat memohon, keselamatan, ketenangan, kedamaian serta kerukunan dan juga tuntunan dalam hidup, sehingga dalam era serba keterbukaan, era kebebasan dalam hal apapun sebagai akibat politik global, Umat Hindu yang meyakini  Pura sebagai tempat melakukan sembahyang dan doa bersama selalu berusaha bersikap religius.

Lebih lanjut Koentjarningrat menyatakan tempat suci yang keramat adalah suatu tempat yang dikhususkan dan tidak boleh didatangi oleh orang-orang yang tidak berkepentingan. Karena adanya aspek religi, bahkan mereka yang mempunyai kepentingan pun tidak boleh sembarangan, mereka harus berbuat yang serba religi (1980:242). Berdasarkan hal seperti itulah disimpulkan bahwa pada agama terkandung nilai religius yang harus diyakini dan dilaksanakan dengan serba religius dalam setiap langkah tindakan kita sehari-hari sebagai bentuk control dalam era politik global. Nilai religius yang diwujudkan dari keberadaan agama pada diri dalam era politik global mengacu pada konsep keberagamaan dari Stark dan Glock.

Dimana Stark dan Glock (dalam Robertson,1995:24) menyatakan bahwa ada lima (5) aspek keberagamaan. Setiap aspek mengandung beraneka ragam kaidah dan unsur-unsur lain dari berbagai agama di dunia yang dapat digolongkan menjadi 5 yaitu:

1) Aspek Keyakinan Agama Dalam Politik Global

Aspek ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran dokrin-dokrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi sering kali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama.

 Sesuai dengan aspek keyakinan, maka keyakinan dapat dibuktikan dengan dilakukannya pemujaan yang pada hakikatnya untuk memuja Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Pemujaan yang dilakukan menunjukkan bahwa mempunyai keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan. Membahas pengertian ke-tuhan-an beserta manifestasinya kiranya tidak terlepas dari filsafat atau tattwa bahwa itu adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan. Dimana bahwa “tattwa” mempunyai pengertian “keituan”. Dari pengertian tattwa ini kita memperoleh dan mengetahui ajaran yang paling mendasar bahkan akan tahu sebab atau sumber dari segala sumber yang dalam ajaran agama Hindu disebut dengan Brahman (Tuhan) sebagai sumber yang utama segala yang ada didunia termasuk sumber tujuan dari agama dan politik global, sesuai yang tersirat dalam Cloka berikut:

Terjemahannya :

Siapapun yang telah menyadari dia menghayati Ke-Tuhanan bahwa

Brahma itu lebih besar dari alam semesta, berkeadaan maha besar, tidak terbatas, berada dalam tubuh setiap mahluk meliputi seluruh alam semesta dan adalah menjadi penguasa alam semesta, maha dia menjadikan keadaan abadi (Sugiarto dan Pudja, dalam Surya Dharma,2002:60).

 

Sloka ini sebagai bukti bahwa sumber kebenaran, kebijaksanaan dan kesucian yang utama terletak di alam semesta ini adalah pada Tuhan Yang Maha Esa, namun walau demikian Tuhan tidak pernah terlihat, diraba, pendeknya Tuhan tidak terjangkau oleh Panca Indra kita akan tetapi Tuhan diyakini keberadaannya, seperti yang termuat dalam Bhagavadgita VIII.20. Yang menyatakan sebagai beriku;

Terjemahannya:

Lebih tinggi dari semua yang tak nyata ini adapula yang tak nyata, kekal abadi. Tidak termusnahkan walau semua yang lainnya musnah sirna (Pudja; 2005).

 

Dari sloka tersebut di atas diuraikan ajaran kesunyataan tentang hakekat Tuhan yang kekal abadi, dan yang nyata muncul dari yang tidak nyata dan kembali pada yang tak nyata pula. Dengan keterbatasan dirinya manusia, dalam era politik global berusa untuk mencapai tujuan tertinggi, eksistensi dirinya sebagai bentuk aktualisasi diri. Namun tampa disadari justru dengan politik global yang tampa diimbangi agama justru akan semakin merusak tatanan kehidupan social riligius pada masyarakat. Disinilah agama memiliki peran yang sangat penting, sebagai penunjuk arah tujuan universal dari masing-masing setiap individu dalam era politik global yaitu kedamian (kebahagiaan yang hakiki). Baik agama ataupun politik global sehingga benar-benar memberikan gambaran yang jelas tentang arah dan tujuan hidup yang sesungguhnya guna untuk keselamatan semua mahluk dimuka bumi.

Mempergunakan berbagai sarana dalam era politik global untuk mengaktualisasikan diri untuk menjadi yang lebih sebagai media atau sarana pengembangan diri, sehingga dalam hal ini nilai kebenaran (nilai tattwa) akan sangat kelihatan dengan adanya penggambaran manusia terhadap Tuhan lewat manifestasinya pada setiap penjuru melalui pemahaman ajaran agama. Sehingga memiliki sifat yang mutlak tentang kebenaran universal melalui berbagai perilaku agama sebagai pengejewantahan rasa bhakti kepada yang Maha Pencipta dalam budaya berpolitik global untuk mewujudkan tujuan hidup setiap individu seperti keselamatan, kesuksesan, kemakmuran, kesejahteraan, kebahagiaan, keharmonisan dan kedamaian yang abadi (moksa artam jagadhita ya caiti dharma).

Agama dalam politik global bertujuan menuntun jalan pikiran para individu pelaku budaya politik global. Lebih lanjut dalam setiap kehidupan manusia tentunya mendambakan rasa damai dan ketentraman, sehingga manusia akan mencari sumber kedamaian tersebut yang mana sumber ketentraman dan kedamaian tersebut adalah Tuhan itu sendiri, hal ini selaras dengan yang tersurat dalam Bhagavadgita II. 66 sebagai berikut:

Terjemahannya :

Orang yang tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin memiliki kecerdasan rohani dan pikiran yang mantap. Tanpa pikiran yang mantap tidak mungkin ada kedamaian, tanpa kedamaian bagaimana mungkin ada kebahagiaan (Pudja;2005).

 

Dari kutipan sloka di atas jelas sekali sumber dari kedamaian adalah kecerdasan rohani, yang mana kecerdasan rohani yang dimaksud adalah kecerdasan yang berupa kesadaran akan hakekat sang diri serta sumber Maha Utama. Dengan memiliki pikiran yang mantap, otomatis perlahan pikiran-pikiran positif muncul dari dalam diri, dengan pikiran yang positif akan tercipta pula suasana yang kondusif, tentram dan damai, dengan meyakini tentang manifestasi Tuhan yang ada pada setiap individu diharapkan mampu menciptakan kecerdasan rohani serta pemikiran yang mantap guna meningkatkan Sradha kepada Tuhan sehingga dengan keyakinan yang mantap terhadap eksistensi Tuhan serta keyakinan akan adanya Karmaphala maka akan tercipta prilaku yang positif menuju tercapainya hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, sesame manusia dan alam lingkungan dalam budaya politik global.

2). Aspek Praktek Agama Dalam Politik Global

Aspek ini menyangkup perilaku beragama dalam prakteknya, ketaatan dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Praktek-praktek keagamaan ini terdiri dari dua kelas penting. Ritual kepada seperangkat ritus, tindakan keagamaan formal dan praktek-praktek suci yang semua agama diharapkan para penganutnya melaksanakan. Ketaatan mengacu pada bagaimana umat mampu untuk menerapkan atau mempratekkan ajaran-ajaran agama yang dianut tersebut, yang dapat diwujudkan dalam prilaku, sikap dan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat dalam era politik global. Ketaatan terhadap praktek beragama dapat dijadikan filter bagi setiap individu yang mengaku ber-Tuhan dalam era politik global. Bagaimana dalam politik global keinginan untuk mencapi tujuan dilandaskan dengan dharma.

Penanaman nilai-nilai dharma sebgai dasar utama untuk mencapai tujuan dapat dipahami melalui praktek-praktek beragama seseorang. Pelaksanaan praktek beragama sebagai pembentukan sikap dan perilaku dapat menumbuh kembangkan nilai-nilai kemanusiaan dalam diri individu. Dengan demikian dalam budaya politik global manusia tidak lagi ingin saling menguasai, merasa tersaingi, tetapi lebih kepada ketergantungan yang mengarah pada saling tolong menolong demi mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran, kedamaian dan kemuliaan semua mahluk.

Agama pada dasarnya juga berperan dalam proses intensifikasi hubungan social dan mempertinggi solidaritas masyarakat, seperti pada saat adanya pratek upacara agama. Umat beragama dapat mempersatukan dirinya dan berkumpul untuk memohon pertolongan, tuntunan dalam hidupnya kearah jalan yang benar dan memohon ampun atas segala dosa lahir bhatin. Koentjaraningrat (1980:262-267)  fungsi sosial agama adalah untuk membicarakan dan mempersoalkan berbagai persoalan hidup dan kehidupan yang menyangkut kepentingan bersama.  

3) Aspek Pengalaman Keagamaan Dalam Politik Global

Menurut Monk (dalam Adiputra, 2004:23-24), pengalaman agama umumnya bersifat individu, tetapi karena pengalaman keagamaan bersifat pribadi hal ini senantiasa mendorong seseorang untuk mengembangkan dan menegakkan keyakinan itu dalam bentuk sikap, tingkah laku dan praktek-praktek keagamaan yang dianut. Agama Hindu menyimpulkan bahwa di dalam pengalaman agama menganggap bahwa kebenaran yang objektif berasal dari sugesti yang bersifat subjektif. Dalam kitab Upanisad dijelaskan bahwa “Tuhan sebagai Sarva pencipta, atma agung yang selalu bersemayam pada jantung setiap mahluk, yang dibatasi oleh pikiran, Ia yang mengerti hal ini akan abadi”(Svet.Up.IV.17). Pengalaman agama bukanlah penyajian murni dari yang nyata, melainkan penyajian dari yang menerimanya.

Seperti telah dikemukakan, Glock dan Stark (1968:28) aspek ini berkaitan dengan pengalaman keagamaan, perasaan-perasaan, persepsi-persepsi, dan sensasi-sensasi yang dialami seorang pelaku atau didefinisikan oleh suatu kelompok keagamaan (suatu masyarakat) yang melihat komunikasi, walaupun kecil, dengan suatu esensi Ketuhanan, yakni dengan Tuhan, dengan kenyataan terakhir, dengan otoriti transeden. Tegasnya, ada kontras-kontras yang nyata dalam berbagai pengalaman tersebut yang dianggap layak oleh berbagai tradisi dan lembaga keagamaan, dan agama juga bervariasi dalam hal dekatnya jarak dengan prakteknya. Namun, setiap agama memiliki paling tidak minimal terhadap sejumlah pengalaman subjektif keagamaan sebagai tanda keberagamaan individu.

Pengalaman-pengalaman yang dialami seperti terjadinya berubahan sosioriligiusitas yang sangat memuaskan setelah hadirnya politik global. Masyarakat kini mengalami perubahan paradigma dalam praktek beragamanya, idiologi agama berubah menjadi idiologi agama pasar. Semakin tambah rajin sembahyang pada hari hari-hari suci agama lebih ditonjolkan pada sisi luar agama saja, untuk pamer budaya konsumtuiv, tapai bukan pada penghayatan yang mendalam untuk menjadikan manusia lebih memahai arti sebuah tujuan hidup dilahirkan kedunia. Perasaan tenang dan damai setelah melakukan pemujaan terlihat semu belaka. Keyakinan umat atas Kebesaran dari Tuhan Yang Maha Esa dirasakan hanya pada saat mengalami mala petaka.

Agama dan politik global sebagai aspek pengalaman diharapkan dapat menyadarkan manusia bahwa ada tujuan mulia dari semua itu. Dalam teori catur purusa artha sudah dijelaskan bagaimana hendaknya tujuan agama dan politik global bersenergi untuk satu tujuan yang mulia yaitu mensejahterakan semua mahluk demi kebahagiaan yang abadi baik didunia maupun di ahirat. Artha diperlukan untuk memenuhi keinginan mensejahterakan namun semua itu harus dilandasi dengan dharma. Hal inilah yang dimana agama dalam politik global harus mampu memberikan perannya sebagai basic control terhadap budaya politik global yang tak mengenal batas. Sehingga individu-individu dalam masyarakat hanyut dibawa arus politik global yang dapat merusak tatanan social religious dalam kehidupam masyarakat.   

4) Aspek Pengetahuan Keagamaan Dalam Politik Global

Aspek ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan sekecil apapun tentang dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, tradisi-tradisi, makna sakral dan nilai-nilai etika dan susila dalam berperilaku. Dimensi pengetahuan dan keyakinan adalah syarat bagi penerimanya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu berstandar pada keyakinan. Seseorang lebih dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit.

Demikian juga dengan agama dan politik global, hendaknya umat beragama lebih giatlagi belajar agama sehingga memiliki nilai tambah untuk memahami tentang pengetahuan agama dalam era politik global, era dimana terjadi persaingan bebas, orang tidak lagi menutup diri, agama menjadi alat untuk merebut kekuasaan. Dengan belajar lebih banyak tentang aspek pengetahuan agama, maka dengan demikian umat beragama dapat merasakan adanya suatu kekuatan yang menimbulkan keyakinan yang sangat kuat ditambah lagi dengan kejadian-kejadian yang terjadi diluar batas pikiran manusia, sehingga menambah keyakinan terhadap kebenaran Tuhan. Karena kalau tidak demikian dalam era politik global maka siap tidak siap mau tidak mau kita harus siap dilibas oleh arus globalisasi yang sulit untuk dibendung lagi. Tantangan kedepan dengan derasnya arus globalisasi yang tampa mengenal batas adalah dimana umat beragama akan dihadapkan pada kenyataan bahwa agama akan menjadi subjek penting dalam idiologi agama pasar.

5) Aspek Konsekuensi Agama Dalam Politik Global

Konsekuensi komitmen agama berlainan dari empat aspek yang sudah diuraikan di atas. Aspek ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Istilah “kerja” dalam pengertian theologies digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam era politik global dewasa ini, tidak sepenuhnya jelas batasan mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

Dalam era polotik global, bagi semua agama dapat dikatakan bahwa theology atau kepercayaan keagamaan adalah jantungnya keyakinan. Theologi terdapat di dalam seperangkat kepercayaan mengenai kenyataan terakhir, sehingga aspek-aspek lain dalam agama menjadi koheren. Kini dimensi kepercayaan dapat dianggap penting secara khusus, tetapi seringkali tidak cukup untuk menggambarkan aspek komitmen terhadap agama. Dimana kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti sembahyang, tidak dapat dipahami jika kegiatan itu berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil, bahwa masuk akal bila kita menyembah seorang penganut yang acuh tak acuh terhadap religius tetapi bukan seorang skeptic. Atau, penganut yang tidak memiliki pengalaman religius masih tetap tidak memiliki kepercayaan agama, yang dapat disebut pisikotik. Sebenarnya penganut yang melakukan perbuatan tercela berselang seling dengan perbuatan baik berdasarkan agama tetap dipandang religius, tetapi demikian halnya bagi eteistikal. Ini sama seperti tidak cukup untuk menggambarkan aspek komitmen terhadap agama sebagai sebuah budaya politik global.

Glock dan Stark (1965) sebagaimana dikutip oleh Root (1979) menunjukkan lima aspek pengukuran kadar keagamaan yaitu aspek idiologikal kepercayaan, keyakinan), ritual(praktek keagamaan, eksperiencial (pengalaman). Aspek idiologi (kepercayaan, keyakinan) menunjukkan tingkat kesetujuan seseorang terhadap kepercayaan yang dianutnya. Aspek ritual (praktek keagamaan) adalah frekuensi partisipasi dan ketaatan terhadap agama yang dianutnya. Aspek pengalaman keagamaan menunjuk kepada  dan sesuatu perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang dengan Tuhan. Dan aspek pengetahuan menggambarkan seberapa jauh orang yang beragama mengetahui dokrin-dokrin (dasar-dasar keyakinan), ritus-ritus, tradisi-tradisi dan norma-norma agama yang dianutnya. Sedangkan aspek konsekuensional menunjukkan seberapa jauh komitmen dan kehidupan sehari-hari sesuai dan selaras dengan aspek lainnya.

  1. 2.      Makna Nilai Sosial Agama Dalam Politik Global

Mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna adalah manusia, sebab jika dibandingkan dengan mahluk lain manusia memiliki kelebihan yakni pikiran (idep) dengan kemampuan berfikir manusia bias membedakan antara yang baik dan buruk, subha asubha karma, sehingga bisa merubah dan memperbaiki hidupnya. Dalam Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan sebagai berikut:

Terjemahannya:

Diantara semua mahluk hidup, hanya menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah perbuatan buruk kedalam perbuatan yang baik, demikian pahalanya menjadi manusia (Kajeng ; 2003).

 

            Sura (1992:2) Pada hakekatnya manusia dalam berprilaku cenderung dipengaruhi oleh dua faktor yakni: faktor bawaan (intern) dan faktor lingkungan (ekstern).

  1. Faktor bawaan maksudnya adalah faktor yang berasal dari dalam diri yang mendorong manusia untuk bertingkah laku ataupun berbuat sesuatu yang kita kenal dengan istilah karakter ; dan
  2. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang berasal dari luar diri manusia seperti pendidikan, dan pengalaman yang di dapat.

 

MPLA Bali (1990:19)  disisi lain manusia adalah mahluk social yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tanpa melakukan interaksi social, oleh sebab itu setiap kelompok kehidupan manusia mempunyai cara-cara tertentu untuk mengatur hubungan hidupnyaa. Dengan tidak membedakan suatu kehidupan bermasyarakat dalam kelompok kecil maupun yang besar, maka di dalam mengatur hubungan itu tentu memerlukan aturan-aturan yang didasari atas nilai-nilai menngenai apa yang baik atau sebaliknya apa yang dianggap tidak baik atau patut. Aturan-aturan merupakan patokan mengenai apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat, sehingga aturan-aturan tersebut membatasi sikap dan tingkah laku manusia yang satu dengan yang lainnya.

Aturan-aturan itu hidup dan berkembang di dalam masyarakat serta diterima sebagai suatu keharusan oleh anggota masyarakat, karena setiap dari mereka menganggap pentingnya suatu pembatasan, sebab kehidupan yang bebas tanpa batas tidak dikenal di dalam suatu kehidupan bermasyarakat serta masyarakat merasa perlu adanya pembatasan guna lancarnya kehidupan bermasyarakat dan terselenggaranya kepentingan anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kesadaran tentang adanya aturan-aturan yang hidup dan mengikat dalam hidup bermasyarakat syarat untuk terciptanya suasana kehidupan yang tertib, aman, dan damai. Terkait dengan agama dan politik global ini merupakan salah satu wahana untuk memupuk dan membina rasa persaudaraan dan persatuan masyarakat didunia ini.

Berdasarkan hasil kajian penulis bahwa agama dan poltik global adalah komunitas masyarakat yang terikat dalam suatu kekerabatan dan sejarah tertentu dalam satu tanggung jawab bersama untuk mengabdi pada kewajiban-kewajibannya dimuka bumi dengan tujuan bersama mensejahterakan semua mahluk. Dalam hal ini juga fungsi dan makna sebagai lembaga social yang dapat mengembangkan dan membina nilai-nilai solidaritas dan nilai kebersamaan antar anak-anak bangsa. Bahwa baik agama ataupun politik ada nilai kebersamaan yang yuniversal tercermin dalam kegiatan keberagamaan maupun dalam kegiatan politk global. Setiap orang hendaknya melaksanakan tugasnya dengan penuh keikhlasan sebagai bentuk kewajiban dengan berlandaskan dharma yang dinilai sebagai kegiatan sacral yang berorientasi pada semangat ajaran bhakti serta jauh dari kepentingan untuk mendapatkan imbalan secara fisik sebagaimana bentuk kerja-kerja lainnya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bhagavadgita, Bab III. Sloka 7 dan 8 sebagai berikut;

Terjemahannya :

Sesungguhnya orang yang dapat mengendalikan paca indriyanya dengan pikiran. Wahai Arjuna, dengan panca indranya  bekerja tanpa keterkaitan, ia adalah di hormati.

Bekerjalah seperti yang telah ditentukan, sebab berbuat lebih baik dari pada tidak berbuat, dan bahkan tubuhpun tak akan berhasil terpelihara tanpa bekerja (Pudja; 2005).

Artinya bahwa setiap melakukan tindakan kerja hendaknya berlandaskan dharma sehingga tidak pernah merasa terpaksa untuk memenuhi kewajiban tersebut karena dengan demikian itu merupakan suatu bentuk rasa bhakti yang tulus kehadapan Tuhan Yang maha Esa. Bhakti yang tulus sebagai dasar sebuah yadnya apapun bentuk yadnyanya baik dalam hal kegiatan agama ataupun kegiatan politik global, maka dengan demikian semua akan bermuara pada tujuan yang tertinggi dalam hidup yaitu kebahagiaan yang hakiki dan abadi. Hal tersebut lebih lanjut ditegaskan dalam Bhagavadgita III, Sloka 18 dan 19 mengenai tujuan dari kehidupan ini, yaitu :

Terjemahannya :

Baginya di dunia ini tak ada tujuan yang dicari dengan melakukan kegiatan kerja, atupun merasa rugi karena tidak bekerja; ataupun tak merasa  tergantung lagi pada siapapun juga(Pudja; 2005).

Terjemahannya :

Oleh karena itu, laksanakanlah segala kerja sebagai kewajiban tanpa terikat (pada akibatnya), sebab dengan melakukan kegiatan kerja yang bebas dari keterikatan, orang itu sesungguhnya akan mencapai yang utama (Pudja;2005).

 

Sebagai lembaga social, agama dalam politik global mempunyai makna dan fungsi sebagai control social bagi masyarakat karena di dalamnya terdapat norma-norma atau aturan-aturan yang mengatur warga masyarakat sehingga masyarakat bertindak sesuai dengan norma-norma yang berlaku.  Di dalam agama juga terbentuk struktur kepengurusan sebagai salah satu unsure dalam manajemen kelompok sosialnya. Sebagai lembaga social agama dalam politik global juga bermakna dan berfungsi sebagai sarana social bagi masyarakat, dapat merangsang orang untuk berkumpul di sana, sehingga terjadi komunikasi antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lainnya. Dalam komunikasi ini, maka akan timbul akulturasi budaya dan asimilasi budaya, di mana faktor-faktor yang baik dapat bersintesa sehingga memungkinkan untuk memunculkan budaya-budaya baru yang tidak bertentangan dengan budaya-budaya yang telah ada. Mengenai nilai sosioreligius pada agama dalam politik global di atas, dapat disimpulkan bahwa agama mempunyai nilai sosioreligius bagi masyarakat dalam bersikap dan berperilaku. Nilai pendidikan sosioreligiusnya yaitu berupa; a) Nilai Religius. Nilai religius yang diwujudkan dari keberadaan agama dalam era politik global mengacu pada konsep keberagamaan dari Stark dan Glock yang menyatakan bahwa ada lima (5) aspek keberagamaan. b) Nilai Sosial. Nilai kebersamaan tercermin dalam kegiatan keberagamaan dan politik global. sebagai lembaga sosial yang dapat mengembangkan dan membina nilai-nilai solidaritas dan nilai kebersamaan. Sehingga hal ini sejalan dengan pernyataan Louis O.Kattsof (dalam Soemargono, 2004:324-335), bahwa nilai mengandung beberapa makna : berarti berguna baik atau benar atau indah, objek dari keinginan, mempunyai kualitas yang dapat mengakibatkan orang mengambil sikap untuk “setuju” mempunyai sifat tertentu dalam sebagai tanggapan atas sesuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal yang menggambarkan nilai tertentu. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ; nilai merupakan kualitas empiris yang tidak dapat didefinisikan, nilai sebagai objek suatu kepentingan dan nilai sebagai suatu esensi serta hubungan antara sarana dengan tujuan yang ingin dicapai. Demikian pula, agama dalam politik global memiliki nilai religius, nilai sosial, nilai keindahan serta mempunyai kualitas kesucian bagi umat beragama.

4.1 Simpulan

Runtuhnya Uni Soviet pada awal 1990-an menandai hancurnya blok komunis dan berakhirnya era perang dingin. Dari konteks wacana-wacana besar tentang ideologi, komunis sudah dianggap tidak lagi relevan. Fenomena pengerucutan pada ideologi kapitalisme dan liberalisme. Kemudian menggelembunglah wacana globalisasi, seolah sebagai kelanjutan atau konsekuensi semata dari kegemilangan kapitalisme dan liberalisme. Artinya diabad sekarang ini, dengan intensitas yang berbeda dengan abad ke-20, faktor agama mulai marak diperhitungkan kembali dalam khazanah politik global. Faktor agama tidak dapat dipandang lagi sebelah mata.

Boleh jadi, hari-hari ini kita tengah berada dalam proses kebangkitan agama-agama di pentas politik global. Sebagaimana sudah diramalkan agama akan tampil sebagai faktor dominan di dalam “mengimbangi” wacana ideologi Barat, sepeninggal komunisme. Bahwa masa yang kita alami sekarang adalah masa “ketika Tuhan tak bisa ditolak dan agama bertambah penting dalam hidup orang banyak, memberi kekuatan, menerangi jalan, tetapi juga membingungkan dan menakutkan”. Yang membuat agama begitu, tentu para pelaku-pelakunya. Agama sendiri kerap dimultitafsirkan oleh para pengikutnya, dan hadirlah ragam mazhab dan keyakinan.

Konflik kerap hadir di tengah internal agama itu sendiri, tak jarang juga menumpahkan darah. Hal yang menjadi penyebab biasanya lebih banyak faktor politik. Politisasi agama rawan konflik, memang. Dalam konteks antaragama, konflik juga potensial, tetapi biasanya dialog antarmereka akan lebih digalakkan apabila muncul masalah. Yang menjadi kegelisahan para agamawan justru politisasi agama yang mampu menyebabkan konflik identitas (agama). Kaum agamawanlah biasanya yang disibukkan dengan konflik-konflik identitas. Padahal lebih sering sesungguhnya konflik politik, bukan konflik agama.Tetapi, harus diakui posisi dan peran mereka semakin penting di tengah-tengah konstelasi politik global di abad ke-21 ini.

4.2 Saran

1. Kepada generasi muda agar berperan dalam berbagai kegiatan keagamaan, sebab hal tersebut merupakan media pembelajaran bagi para generasi muda guna menyiapkan generasi penerus Hindu yang berkualitas tidak saja secara akademis tetapi memiliki pribadi serta budi pekerti yang luhur, memiliki dedikasi dan loyalitas serta komitmen yang kuat untuk tetap melestarikan kearifan local demi eksistensi Hindu ke depan.

2. Kepada elite politik dan pemimpin masyarakat ataupun Negara agar selalu menjadikan agama sebagai basic control dalam menjalankan tugas dan membuat keputusan politik demi kepentingan kesejahteraan semua mahluk. Dan mengambil makna nilai agama positif dari berbagai aspek untuk dipedomani dalam berperilaku dan bertindak pada era politik global dewasa ini. Sehingga dapat berfikir kritis, memunculkan sikap terbuka, transparansi, accountable, serta mengapresiasi segala pemikiran dan pendapat orang lain yang sifatnya membangun.

Referensi

 

Anandakusuma, Sri Rsi. 1986.  Dharma Sastra, tp,tt.

 

Haryanto, Sindung. 2012. SPEKTRUM TEORI SOSIAL, “Dari Klasik Hingga Postmodern”. Jogjakarta : AR-RUZZ MEDIA 

 

Kadjeng. I Nyoman. 2003. Sarasamuscaya. Surabaya : Paramita.

 

Kajeng. Nyoman, dkk. 2003. Sarasamuscaya. Jakarta: Pustaka Mitra Jaya.

 

Koentjaraningrat.1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:Dian Rakyat.

 

Koentjaraningrat. 1982. Antropologi I. Jakarta : Djambatan

 

Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta. Universitas Indonesia Pers.

 

Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok Etnografi II. Jakarta : Rineka Cipta.

 

Max. Muller.1974. Kamus Sansekerta Inggris. New Delhi : Alamhabad University Pers.

 

MPLA BALI. 1990.Desa-Desa Adat Di Bali Konflik dan Pemecahannya. Denpasar : Pemda Provinsi Dati I Bali.

Nasikum.2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.

 

Nawawi, Hadari. 1993. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta : Gajah Mada University Press.

 

Oka Netra, A.A. Gde. 1997. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Tim Penyusun.

 

Pals, Daniel. L. 2002. Dekonstruksi Kebenaran. Yogyakarta. IRCisoR.

 

Pudja, Gede. 2005. Bhagavadgita. surabaya : Paramita.

           

Purwadarminta, W.J.S. 1986. Kamus Populer Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka.

 

Ritzer, George. 2009. Teori Sosial Postmodern. Terjemahan: Muhammad Taufik. Yogyakarta : Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana.

 

Ritzer, George and Barry Smart. 2001. “Introduction: Theorists, Theories and Theorezing.” Dalam George Ritzer and Berry Smart (eds.). Handbook of Social Theory. London, Thousand Oaks, New Delhi: SAGE Publication.

 

Robertson Roland (ed). 1995. Agama dalam Interpretasi Sosiologi. Jakarta: PT. Grafindo Jakarta.

 

Roof, W Clak., 1979. Concepts and Indications of religious commitment: A Critical review. In Robert Wuthnow (Ed), The Religious Dimention: New Directions in Quantitative Research. Academic press, New York.

 

Stark, R. Dan CV. Glock. 1968. American Plety, The Natur Of  Religion Commitment. University Of callifornia Press.

 

Sura, I Gede. 1992. Dharma dan Tatasusila. Jakarta : Dirjen Bimas Hindu dan Budha.

 

Susanto,P. Hari. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Elliade, Jakarta, Kanisius.

 

Tim Penyusun. 2009. Profil Kecamatan Bone-Bone.

 

Triguna, Ida Bagus Nyoman Yudha (ed). 1997. Sosiologi Hindu. Dirjen Bimas Hindu dan Budha.

 

Wiana, I Ketut. 1993. Bagaimana Umat Hindu menghayati Tuhan. Denpasar. Pustaka Manikgeni.

 

About astaego

lebih baik dalam posisi tidak tau, dari pada selalu bertahan dalam posisi pura-pura tau

Posted on 15 Maret 2014, in Tak Berkategori. Bookmark the permalink. Tinggalkan komentar.

Tinggalkan komentar